LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT (OMA)
OLEH:
DEWA GEDE DYSKA ADI PUTRA
P07120012031
2.1 REGULER
POLITEKNIK
KEMENTERIAN KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN
KEPERAWATAN
2013/2014
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN OTITIS MEDIA AKUT
- DEFINISI
Otitis
media adalah infeksi telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (Otitis
Eksternal), saluran telinga tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis), dan
telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis media, suatu inflamasi telinga
tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah. (Rahajoe, 2012)
Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian
atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002).
Otitis media
akut ialah radang akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak
yang biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (Schwartz 2004,
h.141).
- ETIOLOGI
Penyebab
otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus pneumoniae
dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak
diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat
edema yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok
pasif juga menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari
2005, h.220 otitis media terjadi karena mekanisme pertahanan humoral yang belum
matang sehingga meningkatkan terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan
botol pada posisi terlentang akan memudahkan terkumpulnya susu formula di
rongga faring, pembesaran jaringan limfoid yang menghambat pembukaan tuba
eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan horisontal, perkembangan
saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii terbuka lebih awal.
- EPIDEMIOLOGI
Otitis media pada anak-anak sering
kali disertai dengan infeksi pada saluran pernapasan atas. pada penelitian
Zackzouk dan kawan-kawan di Arab Saudi tahun 2001 terhadap 112 pasien infeksi
saluran pernapasan atas (6-35 bulan), didapatkan 30% mengalami otitis media
akit dan 8% sinusitis. Epidemiologi seluruh dunia terjadinya otitis berusia 1
tahun sekitar 62%,
sedangkan anak-anak berusia 3 tahun
sekitar 83%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami
minimal satu episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari
mereka mengalami tiga kali atau lebih. Insiden Otitis Media Akut (OMA)
tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada
waktu berusia 5 tahun bersamaan dengan anak masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami otitis
Media Akut (OMA) di dapatkan pertengahan tahun pertama sekolah, di Swedia
mendapatkan 16.611 anak penderita Otitis Media Akut (OMA) dan didapatkan usia 7
tahun dengan prevalensi terbanyak. resiko kekambuhan otitis media terjadi pada
beberapa faktor, antara lain usia < 5 tahun, otitis prone (pasien yang
mengalami otitis pertama kali pada usia < 6 bulan, 3 kali dalam 6 bulan
terakhir), infeksi pernapasan, perokok dan laki-laki.
Indonesia sebagai negara berkembang perlu memperhatikan masalah
kesehatan ini, namun hal ini tidak didukung dengan pendataan yang jelas tentang
insidensi otitis Media Akut (OMA) itu sendiri. data yang didapat dari Profil
Kesehatan Dinas Kesehatan Kota bekasi, Otitis Media Akut (OMA) selalu ada pada
20 besar penyakit dengan insidensi tersering.
- PATOFISIOLOGI
Otitis media
terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang menghubungkan
telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang mencegah
organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut memungkinkan
terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah dan
memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar.
Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah.
Udara, tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke
dalam sirkulasi yang menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika
tuba tersebut terbuka, perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri masuk ke ruang
telinga tengah, tempat organisme cepat berproliferasi dan menembus mukosa (Wong
et al 2008, h.944)
- MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1. Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2. Otalgia (sakit telinga)
3. Demam
4. Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.
Manifestasi klinis pada bayi atau anak yang masih kecil :
1. Menangis
2. Rewel, gelisah, sensitif
3. Kecenderungan menggosok, memegang, atau menarik
telinga yang sakit
4. Menggeleng-gelengkan kepala
5. Sulit untuk memberi kenyamanan pada anak
6. Kehilangan nafsu makan
Manifestasi klinis pada anak yang lebih besar :
1.
Menangis dan/atau mengungkapkan perasaan tidak nyaman
2.
Iritabilitas
3.
Letargi
4.
Kehilangan nafsu makan
5.
Limfadenopati servikal anterior
6.
Pada pemeriksaan otoskopi menunjukkan membran utuh yang tampak merah
terang dan menonjol, tanpa terlihat tonjolan tulang dan refleks ringan.
- PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220
ialah :
1. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan
membran timpani.
2. Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan
bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi jarum dari telinga tengah melalui
membran timpani). Uji sensitivitas dan kultur dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi organisme pada sekret telinga.
3. Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau
mendeteksi setiap kehilangan pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.
- PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002,
h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan dan stadiumnya :
a. Stadium oklusi tuba
1) Berikan antibiotik selama 7 hari :
-
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
-
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
-
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik
b. Stadium hiperemis
1) Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
-
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x sehari atau
-
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x sehari atau
-
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis
lainnya
c. Stadium supurasi
1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin
dosis tinggi parenteral selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan
pemberian antibiotik peroral selama 14 hari.
3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke
dokter spesialis THT untuk dilakukan miringotomi.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005,
h.221 ialah :
a. Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan
kaji adanya komplikasi yang mungkin terjadi.
b. Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai
indikasi dan lepas pakainan anak yang berlebihan.
c. Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai
indikasi, tawarkan makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah
makanan, dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada telinga yang
sakit.
d. Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada
posisi telinga yang sakit tergantung.
e. Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga
eksternal kering dan bersih.
f. Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
1) Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan
efek samping obat.
2) Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian
pengobatan antibiotik
3) Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan
menekankan pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
4) Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti
memberi anak posisi tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan
perlahan, permainan meniup.
5) Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut
setelah menyelesaikan terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi
persisten.
- NURSING CARE PLAN
1.
Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada
telinga tengah dan rupturnya membrane tympani.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, rasa
nyeri dapat terkontrol dengan kriteria hasil :
a. Skala nyeri 1-3 (0-10)
b. Ekspresi wajah rileks
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
- Anjurkan klien untuk
tidak mengorek telinga
- Kompres dingin pada
bagian mastoid.
|
- Menentukan tingkat keparahan
dan intervensi lebih lanjut.
- Dapat memperoleh
infeksi/rupture membrane tympani
- Kompres dapat
mengurangi rasa nyeri.
|
2.
Hipertermi berhubungan
dengan proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien
menyatakan tidak demam lagi dengan kriteria hasil :
a.
Suhu 36,7°C-37°C
b.
Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
- Kompres hangat pada
lipatan-lipatan dan kening
- Anjurkan pasien
untuk minum lebih ± 2,5-3 L/hari
|
- Mengetahui perubahan
suhu sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
- Kompres pada
lipatan, contohnya : ketiak, lebih cepat menurunkan panas karena
pori-pori di daerah tersebut besar.
- Menceah dehidrasi
sebagai efek demam.
|
3. Gangguan persepsi sensori auditori berhubungan
dengan gangguan hantaran bunyi pada organ pendengaran.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam fungsi indera
pendengaran klien kembali normal dengan kriteria hasil :
a.
Gangguan pendengaran dapat teratasi
b.
Klien tidak mengalami hambatan komunikasi.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
- Kaji tingkat
gangguan pendengaran
- Ketika berkomunikasi
dengan klien usahakan dnegan suara keras tapi pelan.
- Kolaborasi dalam
melakukan miringotomi/timpanotomi.
|
- Mengetahui tingkat
gangguan dan menentukan intervensi
- Dengan komunikasi
keras tapi pelan diharapkan dapat lebih diterima klien.
- Timpanotomi
bertujuan untuk melakukan drainase secret dari telinga tengah ke telinga
luar.
|
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, ES
& Is kandar,N. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. FKUI: Jakarta.
Betz, CL. 2002. Buku saku keperawatan pediatri. EGC: Jakarta.
Dowshen et al. 2002. Petunjuk lengkap untuk orang tua. PT.
Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Muscari, ME. 2005. Panduan belajar: keperawatan pediatrik.
EGC: Jakarta.
Schwartz, M. 2004. Pedoman
klinis pediatri. EGC: Jakarta.
Wong, DL et
al. 2008. Buku
ajar keperawatan pediatrik. EGC: Jakarta.